Senin, 21 Februari 2011

gunung ambang

Gunung Ambang

Di Sulawesi Utara, Gunung yang satu ini lebih dikenal dikalangan para pendaki (pencinta alam) yang sekedar menikmati kawah belerang. Namun belakangan ini, tempat ini semakin terkenal hingga ke manca negara, tidak lain karena aktivitas mengamati burung.
Saat ini, Gunung Ambang menjadi salah satu tujuan kunjungan para penagamat burung yang khusus mencari Burung hantu yang diberi nama Cinnabar hawk-owl yang dalam nama ilmiahnya dikenal dengan Ninox ios. Bisa dikata Gunung Ambang identik dengan Ninox ios, karena setiap kali pengamat burung yang datang ke temapt ini hanya satu target utama mereka yaitu N. ios sementara jenis-jenis burung lainnya hanyalah bonus.
Akan tetapi bukan itu saja yang bisa kita jumpai di salah satu gunung yang berada di wilayah Bolaang Mongondow ini.
Untuk jenis-jenis burung masih banyak yang bisa kita jumpai di kawasan hutan Gunung Ambang: Sikatan matinan Cyornis sanfordi, Cekakak -hutan dada-sisik Actenoides princeps, Jalak alis-api Enodes erythrophris, Kipasan Sulawesi Rhipidura teysmanni, Malia sulawesi Malia grata, kedua jenis Rangkong, dan bayak lagi.
Selain potensi satwa (burung), di Ambang juga bisa kita nikmati pemandangan pegunungan, kawah belerang, perkebunan sayur-sayuran, cengkeh, serta bentang alam yang indah lainnya.
Satu lagi yang menarik bila Anda berkunjung ke Gunung Ambang, yaitu medanya yang tidak begitu terjal. Seorag ibu yang sudah berumur 50-an tahun saja bisa mendakinya.
Nah, bagaimana mencapai tempat ini? Mudah. Anda bisa menumpang kenderaan umum dari Manado (seperti Paris Taxi) dengan tujuan Kotamobagu. Jarak tempuhnya kurang lebih 3,5 jam. Dengan jasa angkutan Paris Anda perlu mengeluarkan ongkos Rp45,000 (jok depan, samping supir) dan Rp35,000 untuk bangku baris kedua dan belakang. Begitu tiba di Kota Kotamobagu, mintalah sang supir untuk menurunkan Anda di terminal Sinsingon. Dari terminal Sinsingon anda akan menumpang kenderaan Mikrolet dengan tujuan Desa Sinsingon. Jarak tempuhnya sekitar 30 – 45 menit dengan ongkos sekitar Rp7,500/orang.

Selamat melancong!



Rabu, 16 Februari 2011

trick menyembunyikan file hand phone

Trick Menyembunyikan File Foto & Video Pribadi Kita Di Handphone Agar Tidak Terlihat Saat Membuka Gallery

Terkadang kita perlu untuk menyembunyikan beberapa file berupa foto atau video agar orang lain tak bisa melihat file-file tersebut saat dia membuka gallery handphone kita. Misalnya saja kita ingin menyimpan beberapa foto atau video pribadi kita yang hanya boleh dilihat oleh kita atau orang-orang tertentu saja...
Baiklah, untuk mempersingkat, kita langsung aja ke prakteknya.
Yang perlu disiapkan adalah:
Pertama, tentunya handphone kita sendiri dan bukan handphone pacar apalagi handphone tetangga.
Kedua, aplikasi X-plore. Buat yang belum punya, kalian bisa download aplikasinya dengan mengklik link dibawah ini, setelah didownload, cari aplikasi yang sesuai dengan jenis handphone mu, yang lainya diremove/delete aja:.
X-plore v1.35 untuk s60v2, s60v3 & s60v5 (packed):
http://t0mt0m.110mb.com/download.php?file=168431
bagi pemegang handphone s60v2, sebelum mendownload aplikasi diatas, kalian harus punya aplikasi zip manager dulu untuk mengekstrak file X-plore tadi agar bisa langsung terinstal di handphone kalian. Kalian bisa dapetin zip manager dengan klik link dibawah ini:
http://s60addons.com/s60zip/s60zip.sis
setelah aplikasi X-plore terinstall di handphone kalian, maka buka/jalankan aplikasi tadi, setelah terbuka, maka akan muncul tampilan seluruh direktori di handphone kita, lalu kita tinggal pilih/klik direktori tempat kita menyimpan file yang akan kita sembunyikan (biasanya file disimpan di direktori E: atau kartu memori).
Lalu setelah direktori di klik, maka akan muncul seluruh folder didalam direktori yang tadi kita klik. Kalau kita ingin menyembunyikan foto, maka kita harus mengklik folder images atau foto, kalau kita ingin menyembunyikan video, maka kita harus mengklik folder video.
Setelah folder tadi di klik, maka akan muncul seluruh file yang tersimpan didalamnya. Kita pilih saja salah satu file, tapi ingat, jangan dibuka/diklik, cukup arahkan saja pointer atau sorot ke file tadi. Setelah itu, tekan tombol pilihan kiri di handphone kita untuk membuka menu utama. Tempatkan pointer pada menu file (paling atas).
Kemudian klik menu file tadi untuk membuka submenu, lalu arahkan sorotan/pointer ke menu Attributes, lalu klik. Setelah itu akan muncul jendela tampilan dari submenu attributes tadi. Kemudian tandai/check pilihan hidden dipaling atas, pilihan yang lainya biarkan saja. Lalu tekan tombol pilihan kiri untuk menchange/merubah pengaturan tadi. Setelah itu tutup aplikasi X-plore dan proses selesai...
Coba kamu liat hasilnya, buka gallery, lalu liat sendiri, file akan lenyap dari gallery. Tapi tidak benar-benar lenyap, hanya tersembunyi saja dan kita dapat melihat file tersebut melalui aplikasi X-plore tadi...
Gimana? Gampang kan? Tapi jangan buat ngumpetin file yang dilarang negara yah, dosa... Ahahahahahaha...
- THANKZ -
5

adat mongondow

ADAT DAERAH DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

SOSIALISASI PENERAPAN
ADAT DAERAH DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
Oleh: ADI DAMOGALAD


I. Pendahuluan
Masyarakat Bolaang Mongondow sebelum pemekaran terdiri dari 4 etnik yaitu:
  1. Etnik Mongondow
  2. Etnik Kaidipang/Mokapok
  3. Etnik Bintauna
  4. Etnik Bolango
Keempat etnik ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri, pemerintahan sendiri selama berabad-abad, dimana adat kebiasaan tersebut secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian keepat etnik tersebut merupakan satuan masyarakat adat yang memiliki ciri dan identitas sendiri sebelum kedatangan bangsa Eropa (Spanyol, Portugis dan Belanda) yang menjajah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan di Nusantara termasuk keempat etnik/kerajaan tersebut.
Ciri masyarakat adat tersebut masih sangat kental sampai saat ini dapat dilihat dari berbagai upacara seperti tata cara perkawinan, upacara kematian atau kedukaan, prosesi penjemputan tamu kehormatan, etiket sopan santun, pemberian gelat adat kepada pejabat tinggi negara dan sebagainya.
Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Bolaang Mongondow dan raja-rajanya masih menganut Animisme dan raja-raja selanjutnya menganut agama Kristen Katholik yang dibawa oleh bangsa Eropa (Spanyol dan Portugis) yang menyebarkan agama tersebut sampai di kepulauan Philipina terus menyebar ke selatan, tanah Minahasa, Bolaang Mongondow dan Maluku. Oleh sebab itu raja-raja Bolaang Mongondow setelah kedatangan bangsa Eropa umumnya dinamakan menurut agama Kristen Katholik seperti Fransiscus Manoppo, Salomon Manoppo, Eugenius Manoppo, Christofel Manoppo, Cornelius Manoppo dan lain sebagainya yang akan diuraikan lebih lanjut.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, raja-raja Mongondow bergelar Punu’ (Tuang) dimana tercatat ada 6 (enam) raja bergelar Punu’ mulai dari tahun 1400 – 1650 sebagai berikut:
  1. Punu’ Mokodoludut                1400 – 1460
  2. Punu’ Yayubangkai                 1460 – 1480
  3. Punu’ Damopolii                     1480 – 1510
  4. Punu’ Busisi                            1510 – 1540
  5. Punu’ Mokodompit                 1560 – 1600
  6. Punu’ Tadohe                          1600 – 1650
Punu’ Damopolii beristerikan Putri Minahasa bernama Ganting-ganting adalah seorang Putri dari keluarga Tiwow di Buyungon dengan membayar Yoko’/Tali’ berupa tanah dari sungai Ranoyapo, Lewet sampai dengan muara sungai Poigar seluas 720 Km2. Pembayaran Yoko’ tersebut diketahui oleh Walak Minahasa yang mengetahui persis bahwa Yoko’ tersebut harus menuruti adat Bolaang Mongondow. Selanjutnya di zaman Punu’ Mokodoludut dibuatlah kesepakatan para Bogani di tanah Mongondow bahwa:
  1. Mokodoludut dan keturunannya dari generasi-kegenerasi harus menjadi Raja
  2. Barangsiapa yang menentang Raja akan dikenai kutukan:
    • Butungon (kena kutukan)
    • Rumondi na’ Buing (menjadi hitam seperti arang)
    • Dumarag na’ Kolawag (menjadi kuning seperti kunyit)
    • Yumiow na’ Simuton (larut seperti garam)
    • Kimbuton in Tolog (ditelan arus air)
    • Doroton in Motonyanoy (ditindas oleh Dewata)
    • Raja bergelar Punu’ atau Tuang dan anak-anaknya diberikan gelar bangsawan Abo’ untuk laki-laki dan Boki’ atau Bua’ untuk perempuan.
Ketentuan ini berlaku terus-menerus dan sangat dipatuhi oleh masyarakat Mongondow sampai adanya perubahan oleh Punu’ ke-enam (Punu’ Tadohe) yang membagi masyarakat Bolaang Mongondow atas enam strata, yaitu”
1) Mododatu
2) Kohongian
3) Simpal
4) Nonow
5) Tahig
6) Yobuat
Ditegaskan pula bahwa apabila rakyat memanen padi jagung harus menyerahkan beberapa gantang kepada Raja, tanaman pisang yang pertama berbuah harus diserahkan kepada raja, apabila seseorang rakyat yang kaya meninggal dunia maka sepertiga dari kekayaannya sebelum dibagi kepada keluarga pewaris diserahkan kepada raja. Apabila raja mangkat atau permaisuri, maka seluruh rakyat diwajibkan memakai pakaian hitam, tidak boleh memasang lampu pada malam hari sebelum jam 8 malam dan lain-lain keistimewaan.
II. Sejarah Raja-Raja
Adapun raja-raja Bolaang Mongondow yang bergelar Raja setelah berakhirnya gelar Punu’ adalah :
  • Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang 1653 – 1694
Raja ini terkenal agresif dan menyerang pulau Manado Tua sehingga rakyat Manado Tua lari ke Pulau Sangir dan tinggal 52 orang yang sakit-sakitan ditinggalkan kemudian diangkut oleh Gubernur Belanda Padsburg dan dibawa ke Sindulang.
  • Raja Yakobus Manoppo, putra Loloda Mokoagow hasil perkawinan dengan putri Minahasa yang kemudian menjadi Raja Mongondow pada tahun 1694 – 1695.
  • Raja Fransiscus Manoppo 1695 – 1731
  • Raja Salomon 1735 – 1748, Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari ke Bolaang Mongondow akibat penindasan seorang Hukum Besar di Minahasa dan menetap di Bolaang dan Mariri. Oleh Residen Manado, penduduk tersebut diminta dipulangkan ke Minahasa tetapi ditolak oleh Raja Salomon. Disamping itu Raja Salomon bertengkar soal perbatasan dengan Raja Kaidipang yang menyebabkan Raja tersebut dipenjarakan oleh Belanda di Ternate kemudian pindah ke Batavia selanjutnya dibuang ke Afrika Selatan (Tanjung Harapan) selama ± 8 tahun. Sepeninggalnya Raja Salomon karena dibuang ke Afrika Selatan maka di Bolaang Mongondow timbul kerusuhan bahkan pembunuhan-pembunuhan politik oleh beberapa keluarga raja yang ingin menjadi raja tetapi mendapat perlawanan yang kuat dari Jogugu Yambat Simon Damopolii yang didukung rakyat mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengembalikan Salomon Manoppo ke Bolaang. Permintaan tersebut dipenuhi dengan janji bahwa bila Salomon hidup. Raja Salomon tiba di Bolaang pada 15 Maret 1756 dan diangkat kembali menjadi raja pada tanggal 10 Agustus 1764.
  • Raja Egenius Manoppo 1764 – 1770 (Raja ini akhirnya menjadi gila dan digantikan oleh raja ke-enam)
  • Raja Christofel Manoppo 1767 – 1770
  • Raja Markus Manoppo 1770 – 1773
  • Raja Manuel manoppo 1779
  • Raja Cornelius Manoppo 1825 – 1829
  • Raja Ismail Cornelis Manoppo 1825 – 1829
  • Raja Yakobus Manuel Manoppo 1833 – 1858 (Raja ini masuk agama Islam)
  • Raja Adreanus Cornelis Manoppo 1858 – 1862
  • Raja Yohanes Manuel Manoppo 1862 (Penggantinya tidak ada selama beberapa tahun hingga diangkat Raja Abraham Sugeha 1886 – 1893)
  • Raja Ridel Manuel Manoppo 1893 – 1905
  • Raja Datu Cornelius Manoppo 1905 – 1928
  • Raja Laurens Cornelius Manoppo 28 Juni 1928
  • Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo 4 September 1947 – Juni 1950
Catatan :
Raja Laurens Cornelius Manoppo di non-aktifkan dan untuk menjalankan pemerintahan diangkat Van Bieren dibantu oleh dua orang pengawas yaitu H.D. Manoppo dan Mokodompit.
III. Asal-Usul Orang Mongondow

Orang Mongondow menurut Wilken dan Y.A.T. Schwars (1867) terdiri dari 5 (lima) suku/Sub etnis, yaitu:
  1. Intau Polian, diperkirakan bermukim di daerah Lolayan (Intau in Tudu Polian)
  2. Intau Buluan, diperkirakan bermukim disekitar Kelurahan Mongondow sekarang ini dan sekitarnya, mengambil nama seorang Bogani Bulu Mondow (Ismail Tolat, 1975).
  3. Intau Lombagin, disekitar Inobonto/muara sungai Ongkag Mongondow sekarang ini dan sekitarnya.
  4. Intau Binangunan, bermukim disekitar lereng gunung Ambang.
  5. Intau Dumoga, sekitar gunung Bumbungon.
IV. Adat Kebiasaan Orang Mongondow
Sampai sekarang ini beberapa bagian Adat Bolaang Mongondow masih dipatuhi dan dihormati masyarakat. Antara lain, ketika mengadakan pesta pernikahan, upacara kematian (Tonggoluan) dan tata cara berpakaian, upacara menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria, penjemputan tamu kehormatan dan pemberian gelar kehormatan.
Upacara adat pernikahan yang dilakukan di desa-desa Bolaang Mongondow pada intinya tetap sama meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya, dimana banyak bagian-bagian yang tidak berlaku lagi.
Upacara perkawinan/pernikahan adat tersebut dalam bentuk tertulis, telah ditulis oleh W. Dunnebier seorang misionaris (Zendeling) asal Belanda yang menelliti daerah ini ± 25 tahun (1905 – 1939) dengan judul asli “Verlopen en Trouwen in Bolaang Mongondow” tahun 1935. Upacara perkawinan ini diterjemahkan oleh B. Ginupit dalam Bahasa Indonesia “Pertunangan dan Perkawinan” yang menceritakan perkawinan seorang pemuda bernama Singkuton anak dari Moonik dan istrinya Angkina dengan seorang perempuan bernama Dayag anak dari Abadi dan istrinya Ibud.
Ringkasnya prosesi perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Meminang, (melamar) – moguman don mobuloi
  2. Bila pertunangan diterima, dilanjutkan oleh tokoh-tokoh adat (guhanga) meminta imbalan (yoko’). Pada jaman dahulu yoko’ tersebut bisa berupa barang seperti sebidang tanah berisi tanaman kelapa, (lontad in bango’), rumpun rumbia, ternak terdiri dari sapi, kuda, maupun barang-barang berharga lainnya dan uang.
  3. Guat, berupa pemberian pihak keluarga calon pengantin pria untuk memisahkan (guat) calon pengantin wanita dari ibu dan bapaknya.
  4. Uku’ ukud, pemberian bantuan biaya dalam bentuk uang sesuai kesepakatan antar keluarga.
  5. Taba’ adalah utusan pihak keluarga wanita kepada keluarga pihak pria bahwa seorang pemuda bernama “A” telah meminang seorang wanita dari keluarga bernama “B”.
  6. Mahar, pemberian yang diminta oleh calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria (hal ini menurut syariat Islam dalam bentuk cincin atau apapun yang diminta oleh pengantin wanita).
  7. Upacara Pernikahan, pembacaan Ijab Qabul oleh orang tua pihak wanita (semacam penyerahan tanggungjawab memelihara/menjaga pengantin wanita dengan membayar sejumlah uang tunai (Akad Nikah)
  8. Gama’, menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria yang terdiri dari 13 (tigabelas) tahapan sebagai berikut:
1)      Tompangkoi in Gama’ – Persiapan
2)      Lampangan kon tutugan in lanag – melangkah ke tirisan atap.
3)      Lolanan kon tubig – menyeberang sungai.
(ketiga tahap pertama ini dilakukan di rumah pengantin wanita).
4)      Poponikan kon tukad – menaiki tangga rumah
5)      Lampangan kon tonom – melangkah ke pintu rumah
6)      Puat in kaludu’ – membuka kerudung
7)      Pilat ini siripu – melepaskan sepatu
8)      Pilat in paung – menutup payung
9)      Pinogapangan – pendampingan
10)  Pinomama’an – makan sirih pinang
11)  Pinonduya’an – meludah (setelah makan sirih)
12)  Pinogiobawan/pinolimumugan – makan dan berkumur
13)  Pinobuian – pulang/kembali kerumah pengantin wanita
V. Upacara Adat Kematian
Bila seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka diadakan upacara adat kematian sebagai berikut:
  1. Pemberitahuan kepada khalayak/masyarakat bahwa ada anggota keluarga/warga kampung yang meninggal dunia dengan memukul gong (golantung) ke seluruh kampung. Di rumah orang yang meninggal dipasang Arkus berupa hiasan dari daun enau muda yang dipasang pada lengkungan sebatang bambu dibelah empat dan dibentuk kerucut masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi yang dipasangi tiang bambu (matubo).
  2. Bila yang meninggal itu suami maka anggota keluarga pihak suami datang dengan barang-barang hantaran boleh juga berupa uang ditaruh di atas piring antik, bersama sisir, bedak, cermin, dipimpin oleh seorang guhanga. Sedangkan istri/janda dari suami yang meninggal duduk disamping persemayaman jenazah (tonggoluan) dan dengan bahasa Mongondow (halus) guhanga mengatakan: “wahai ibu/saudari kali ini anda telah putus hubungan dengan suami bukan karena cerai tetapi atas kehendak Ilahi (bontowon) tetapi masih ada hubungan tanda mata berupa anak-anak dan cucu”. Sesudah itu diserahkan piring antik untuk menampung air mata.
Langkah berikut diserahkan bungkusan berupa uang dan istri/jandanya diajak berjalan ke arah jendela dan guhanga tersebut berkata lagi: “wahai ibu/saudari lihatlah betapa luasnya alam raya di luar sana, mulai saat ini tidak ada lagi halangan bagimu untuk melakukan kegiatan selanjutnya”.
Bagi orang Mongondow yang beragama Islam biasanya setelah pemakaman diadakan pengajian selama 3 (tiga) hari, 7 (tujuh) hari dan sesudah itu tonggoluan 9tempat persemayaman jenazah) dibongkar dan diberi sejenis Itu-itum, monginsingog yang dilakukan oleh seorang Iman sambil membakar kemenyan berkata: “wahai Almarhum, sekalipun engkau telah dimakamkan, kami tetap mengenangmu, namun kita sudah berbeda alam/alam nyata dan alam arwah, Anda pasti melihat kami karena penglihatanmu sangat terang sekarang, tetapi demi kehidupan kami selanjutnya maka janganlah bersedih hati tempat tidurmu kami akan benahi/bongkar karena Anda telah berpindah ke alam gaib, sedangkan kami masih melakukan tugas kehidupan nyata di dunia dan seterusnya”.
Selesai upacara itu yang biasa dilakukan adalah Hataman Qur’an, maka upacara selesai dan para undangan/pelayat pulang ke rumah masing-masing.
VI. Upacara Adat Penjemputan Tamu dan Pemberian Gelar Kehormatan
Apabila ada seorang pembesar negeri berkenan mengunjungi suatu tempat atau desa/kota, maka seluruh kota/desa dipersiapkan sedemikian rupa kebersihan/kerapihan dengan memasang umbul-umbul, arkus disetiap rumah dan matubo di tempat penjemputan.
Ketika saat tamu pembesar negeri itu tiba, diadakan jemputan berupa Tari Perang/Mosau oleh sekelompok penari/penjemput yang bersenjatakan tombak dan perisai yang dikomandani oleh seorang komandan diiringi dengan bunyi tetabuhan (tambur). Pada tempat yang sudah ditentukan, seorang guhanga dan pemangku adat mengucapkan Itu-itum sejenis ucapan selamat datang dan doa. Setelah itu tamu pembesar negeri tersebut dipersilahkan masuk ke dalam rumah dan duduk di tempat yang sudah ditentukan. Bila pembesar negeri itu seorang Kepala Negara, maka akan diberi gelar yang tinggi “Ki Tule Molantud”, “Ki Sinungkudan”, Tonawat dan diberi hadiah berupa Pedang Mongondow yang berlapis emas pada hulu pedang dan sarung pedang (guma’) terbuat dari kayu hitam/ebony yang memakai ikat (tombasi) berupa emas. Biasanya pemberian tersebut diletakkan dalam kotak kaca yang telah disediakan dan untuk “penawar” agar pedang itu tidak membahayakan pemakai kelak, maka Sang Pembesar Negeri harus memberi sekeping uang logam bernilai seratus atau sekarang lima ratus Rupiah kepada pemberi hadiah. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penjemputan resmi seremonial.
VII. Kesimpulan
Selama ± 650 tahun Suku Mongondow telah berkali-kali menerapkan ketentuan adat sebagai berikut:
14.  Zaman Pemerintah Mokodoludut, Bogani-bogani Mongondow menyepakati ketentuan bahwa Punu’ Mokodoludut (Tuang in Bolaang Mongondow) diakui sebagai Punu’ (Raja) dan keturunannya dari generasi ke generasi memiliki hak menjadi raja.
Disepakati pula bahwa barang siapa yang melawan/melanggar perintah Raja, akan mendapatkan kutukan (laknat) sebagai berikut:
  1. Butungon (dilaknat/kualat)
  2. Rumondi na’ Buing (menghitam bagai arang)
  3. Dumarag na’ Kolawag (menguning bagai kunyit)
  4. Tumonop na’ Lanag (meresap bagai air tirisan)
  5. Kimbuton in Tolog (ditelan arus)
  6. Doroton in Motonyanoi (ditindas oleh Dewata)
15.  Zaman Pemerintah Punu’ Tadohe (1600 – 1650) Masyarakat Bolaang Mongondow dibagi atas lapisan-lapisan (Stratifikasi) sebagai berikut:
1) Mododatu
2) Kohongian
3) Simpal
4) Nonow
5) Tahig
6) Yobuat
16.  Zaman Raja Yakobus Manuel Manoppo ada kesepakatan di Bolaang Mongondow pada bulan September 1849 dimana diatur status anak/keturunan dari perkawinan campuran antara bangsawan dan non-bangsawan, aturan tentang tata cara bepakaian serta hukuman bagi pelanggar pidana seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain, keseluruhan aturan/kesepakatan itu berjumlah 67 pasal.a
17.  Zaman sekarang ini, sebagian besar hukum adat Bolaang Mongondow telah ditinggalkan orang dan yang tersisa serta masih berlaku adalah adat perkawinan, upacara adat kematian dan penjemputan adat serta pemberian/ penghargaan/penobatan gelar adat bagi pejabat tinggi negara.

khas mongondow

Kacang Goyang...makanan ringan khas Bolaang Mongondow


Mengintip Usaha Kacang Goyang Kotamobagu
Dampak krisis finansial global mulai melanda warga di seluruh dunia. Begitu juga di daerah-daerah. Sulut misalnya, mulai melanda usaha kecil menengah, terutama usaha makanan ringan. Tak terkecuali di Kotamobagu, misalnya oleh pengusaha makanan ringan kacang goyang.



Kacang Goyang dalam kemasan

Kacang goyang sebenarnya adalah murni produk lokal yang diproduksi oleh UD Serasi, UD Totabuan, Kabela, dan UPPK Berusaha, yang sentranya ada di kelurahan Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Menariknya, usaha yang dirintis sejak 1970-an itu selain usaha keluarga juga dikelola melalui usaha lintas keluarga secara turun temurun. Mereka juga boleh berbangga karena produk asli goyangan IRT Totabuan ini bisa menembus pasar dunia, seperti di Singapura. Pemilik UD Serasi Ny Hj Rabaiyah Lobangon mengatakan, di seluruh Sulut sudah dipasarkan di swalayan, juga masuk pasar Irian Jaya, dan Kalimantan melalui jaringan kemitraan.
Menurut Robiyah, dari hasil itu mereka telah sukses menyekolahkan anak-anak hingga ke Perguruan Tinggi. Dari 6 anak mereka yang disekolahkan, ada 4 anak yang sukses meraih gelar Sarjana. Mereka juga saat ini sudah menjadi PNS dilingkup Pemkab sebagai guru dan S1-Ekonomi. “Berkat kacang goyang ini istri saya sudah bisa beribadah haji ke tanah suci. Saya nanti akan menyusul,’’ aku Rasyid Daun, suami Robiyah.
Menurut Aki Bebi–begitu Rasyid Daun disapa-dalam sehari mampu memproduksi sekitar 90 kilogram kacang goyang. Peningkatan hasil produksi ini selain karyawan yang mencapai 36 orang, juga stok kacang tanah lancar dikirim mitra kerja dengan kacang tanah kiriman dari Gorontalo, Jawa Timur, dan Makasar. Karyawan UD Serasi juga mampu memproduksi makanan ringan tambahan seperti kacang hai, slei nenas, bagea kenari, bolu panggang, dan kacang telur. Kacang goyang sendiri dijual Rp 30 ribu per kilogram, belum termasuk ongkos kirim ke daerah tujuan. ‘’Kami berharap pemerintah turut membantu dalam hal pemasaran produk. Bila perlu kemasan lebih dipercantik lagi supaya produksi kita ini makin dikenal luas,’’ katanya.
Kesulitan bukan tidak ada. Sebab, minyak tanah yang tidak lancar, juga stok kacang yang kurang di Bolmong sering jadi masalah. Itulah sebabnya, stok kacang tanah sering didatangkan dari luar daerah, dan minyak tanah diganti dengan arang tempurung atau kayu bakar.

Mengenal Sayur Daun Gedi...(Yondok)

Daun Gedi (Sayor Yondok) memiliki nama latin Hibiscus Manihot L. di negara lain juga daun gedi disebut (Philipina: Lagikuway, Thailand: Po fai, Inggris: Edible hibiscus).
Daun Gedi merupakan sayur khas di Sulawesi Utara khususnya Bolaang Mongondow karena orang Mongondow pasti tidak akan pernah lupa pada rasa nikmat masakan sayur gedi yang dikenal dengan Sayor Yondok. Dalam pengolahan sayur ini banyak resep tergantung selera masing-masing peminat, boleh memasak dengan santan atau cuma di rebus biasa dengan tambahan bumbu khas lainnya. Namun sayur gedi ini identik dengan dimasak santan ditambah rebung (oyobung), ubi talas (bete)  dan bumbu lain, kemudian ditambahkan lagi dengan ikan asin (ikang garam) sebagai teman makan sayur yondok.
Bagi orang asli Manado atau Bolaang Mongondow makan Bubur Manado (tinutuan) tidak lengkap jika tidak ditambahkan daun gedi ini sebagai campuran. Daun gedi mempunyai fungsi sebagai penambah rasa gurih serta mengentalkan. Selain lezat, daun gedi juga kaya akan vitamin A, zat besi dan serat yang baik untuk saluran pencernaan. Kolagen terkandung di dalam daun ini juga bermanfaat antioksidan dan menjaga kesehatan kulit. Mungkin karena banyak mengandung serat sehingga menyerap kolesterol dan lemak. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa sayur ini dapat membuat orang langsing dan membantu menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi. Namun belum ada penelitian khusus tentang hal ini.  Karena daunnya banyak mengandung banyak zat kolagen yang bersifat antioksidan, maka berguna untuk merawat kesehatan kulit dan melancarkan peredaran darah. Konon kabarnya, pada suatu masa, Pak Harto (Almarhum) senang merawat sendiri tanaman ini di rumah kediamannya di Cendana, karena beliau suka makan rebusan daun itu guna pemulihan dan perawatan kesehatannya di masa tua.

Saat ini daun gedi susah dijumpai, padahal tanaman ini sangat mudah tumbuh dan diperbanyak. Cukup stek batang dan tanam di media tanah yang gembur pasti akan tumbuh subur. Tinggi tanaman bisa mencapai dua meter dan jika tanahnya cocok akan sangat rimbun dengan daun. Daunnya hijau dan sepintas mirip daun singkong atau mariyuana, karena daunnya berbentuk 5 jari mirip daun singkong atau mariyuana.
Orang Mongondow, terutama yang ada diperantauan sering menanam daun gedi ini di pekarangan rumah atau pot agar sewaktu-waktu bila ingin memasak sudah tersedia. Memang rasa daun gedi sangat kental di lidah orang Mongondow sehingga kemana saja selalu terbayang...sayur yondok. Bukan cuma orang Mongondow saja yang terkenang dengan daun gedi ini, menurut cerita kalau ada orang luar yang pernah makan sayur daun gedi ini pasti tidak akan pernah lupa rasanya dan akan selalu mencari dimana tempat yang ada daun gedi ini. Percaya atau tidak? Wallahualam bisawab....
 

SUKU BOLAANG MONGONDOW


Asal mula

suku Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat. Tempat tinggal mereka di gunung Komasaan (wilayah Bintauna). Makin lama turunan kedua keluarga itu semakin banyak, sehingga mereka mulai menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan. Ke pedalaman di tempat bernama tudu im Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Pokok pencaharian adalah berburu, mengolah sagu hutan, atau mencari sejenis umbi hutan, menangkap ikan. Pada umumnya mereka belum mengenal cara bercocok tanam.
[sunting] Perkembangan

Pada abad 16 penduduk suku mongondow bersatu membentuk suatu daerah yang diberi nama yang terdiri dari kata "bolaang" dan "mongondow" atau saat ini dikenal dengan Bolaang Mongondow. Bolaang atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun, sehingga agak gelap. sedangkan Mongondow dari kata "momondow" yang berarti : berseru tanda kemenangan.
[sunting] Masa kerajaan

Pada abad 17 seorang pemuda pemberani yang bernama Sadohe menyatukan seluruh wilayah Bolaang Mongondow yang memudian menjadi Kerajaan Bolaang Mongondow yang dipimpin oleh Raja Tadohe (sadohe). Pada tahun 1901, secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang didalamnya termasuk landschap Binatuna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari Afdeling Manado.
[sunting] Sub Suku

Suku Mongondow terdiri dari beberapa anak suku yang berdiam di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo, yaitu Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Kaidipang Besar, dan Bintauna.
[sunting] Bahasa

Suku Mongondow dalam kehidupan keseharian menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Mongondow dan bahasa Melayu Manado.
[sunting] Masuknya Agama dan Pendidikan

Raja Jakobus Manoppo ialah raja Bolaang Mongondow yang pertama memerintah setelah mengalami pendidikan di Hoofden School Ternate, karena ia telah dibawa oleh pedagang V.O.C. sesudah melalui persetujuan ayahnya raja Loloda Mokoagow (datu Binagkang). Jakobus Manoppo adalah raja ke-10 yang memerintah pada tahun 1691-1720, yang diangkat oleh V.O.C., walaupun pengangkatannya sebagai raja tidak direstui oleh ayahnya. Jakobus Manoppo pada saat dilantik menjadi raja beragama Roma Katolik.

Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi, yang kawin dengan putri raja itu tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk Bolaang Mongondow memeluk agama Islam juga telah turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Pada sekitar tahun 1867 seluruh penduduk dengan Bolaang Mongondow sudah menjadi satu penduduk dengan bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).

* Over de Vorsten van Bolaang Mongondow 1949
* Een Mongondowsh verhaaal met vertaling en aanteekeningen 1911
* De voornaamwoorden in het Bolaang Mongondows
* Verhaal van een mensch en een slang 1919
* Spraakkunst van het Bolaang Mongondow 1930
* Verloven en trouwen in Bolaang Mongondow 1931
* De plechtigheid "waterscheppen" in Bolaang mongondow 1938
* Bolaang Mongondowsch Woordenboek 1951;dsb.

Pada tahun 1906 melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W.Dunnebier telah mengusahakan pembukaan beberapa sekolah rakyat yang dikelola oleh zending di beberapa desa di Bolaang Mongondow dengan tiga kelas. Guru-gurunya didatangkan dari Minahasa, antara lain :

* Di Nanasi, guru jeseya rondonuwu dan S. Sondakh
* Di Nonapan, guru H. Werung dan A. Rembet
* Di mariri lama, guru P.Assa dan Mandagi
* Di Kotobangon, guru J.Pandegirot dan tumbelaka
* Di Moyag, guru F.Tampemawa dan K. Palapa
* Di pontodon, guru J.Ngongoloi, M.Tombokan dan W.Tandayu
* Di pasi, guru Th.Kawuwung dan W. Wuisan
* Di Popo Mongondow, guru S. Saroinsong dan J. Mandagi
* Di Otam, guru J. Kodong dan S. supit
* Di Motoboi Besar, guru S. Mamesah, A. Kuhu dan K. Angkow
* Di Kopandakan, guru H. Lumanaw dan P. Kamasi
* Di Poyowa Kecil, guru D. Matindas dan Gumogar
* Di Pobundayan, guru Th. Masinambouw dan A. Supit.

Jumlah murid yang tertampug di sekolah-sekolah tersebut adalah 1605 orang (Sejarah Pendidikan daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th. Manus dkk).

Pada tahun 1912 di Dumoga juga dibuka sekolah zending dengan guru Jesaya Tumurang. Pada tahun 1926 sekolah-sekolah seperti itu juga dibuka di Tabang, Tungoi, Poigar, Matali dan Lolak. Pada Tahun 1911 didirikan sebuah sekolah berbahasa Belanda di Kotamobagu, Yaitu Holland Inlandshe School (H.I.S) dengan Kepala sekolah Adrian van der Endt.

Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending, maka pada sekitar tahun 1926 diusahakan pembukaan sekolah-sekolah rakyat yang dikelola oleh Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam (BPPI) yang berpusat di desa Moliow. Guru-gurunya didatangkan dari Yogyakarta seperti antara lain : Mohammad Safii Wirakusumah, Sarwoko, R. Ahmad Hardjodiwirdjo, Sukirman, Sumarjo, Surjopranoto, Muhammad Djazuli Kartawinata dan alin-lain. Juga ditambah dengan Ali Bakhmid dari Manado Usman Hadju dari Gorontalo dan Mohammad Tahir dari Sangir Talaud (Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Utara oleh Drs.L.Th.Manus dkk. 1980).

Perkembangan pendidikan yang dikelola oleh BPPI demikian pesatnya sehingga pada tahun 1931 dibuka sebuah H.I.S berbahasa Belanda di Molinow. Untuk medidik guru-guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPPI, maka pada tahun 1937 dibuka lagi sebuah sekolah guru, yaitu Kweekschool di Molinow.

Disamping sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending dan BPPI, maka usaha pihak swasta untuk membuka sekolah terlihat antara lain : Particuliere Schakel School yang dibuka oleh A.C. Manoppo. Kemudian sekolah seperti itu dibuka oleh A.E. Lewu, yaitu Neutrale Particuliere School yang berlangsung sampai tahun 1941 sebelum bahas Jepang masuk Indonesia karena perang dunia ke-2. Sebuah sekolah swasta seperti itu juga pernah dibuka oleh Sumual pada tahun 1925, namun tidak berlanjut. Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun, dengan kepala sekolahnya N. Ares.

Kotamobagu sebagai ibukota kabupaten Bolaang Mongondow, sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu dianggap kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ibukota ke tempat yang sekarang ini, yaitu Kotamobagu, yang peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas di Bolaang Mongondow tahun 1910-1915.

Kedudukan istana raja di desa Kotobangon, yang sebelumnya pada masa pemerintahan raja Riedel Manoppo berkedudukan di desa Bolaang. Karena raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintah oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja, lalu bersama-sama denga Controleur Anthon Cornelis Veenhuizen dikawal oleh sepasukan prajurit melalui Minahasa selatan masuk Bolaang Mongondow dan mendirikan komalig (isatana raja) di Kotobangon pada tahun 1901.

Pada tahun 1911 didirikan seuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat.

Dengan masuknya agama dan pendidikan, maka sistem kehidupan sosial budaya masyarakat turut mengalami perubahan, antara lain : tentang cara pengelolaan tanah pertanian (mulai mengenal penanaman padi di sawah), adat kebiasaan, pernikahan, kematian, pembangunan rumah, pengaturan saran perhubungan, media komunikasi dan lain-lain sebgainya.

Sebagai informasi perlu disampaikan bahwa : rumah adat Bolaang Mongondow yang diwujudkan dalam bentuk pavilyun Bolaang Mongondow di Taman Mini Indonesia Indah jakarta (samping bangunan rumah adat Sulawesi Utara), yang miniaturnya diminta oleh almarhum Alex Wetik dan dibawa ke Manado tahun 1972 dan kemudian menjadi contoh pembangunan rumah adat Bolaang Mongondow di TMII Jakarta.

Umumnya rumah tempat tinggal di Bolaang Mongondow berbentuk rumah panggung dengan sebuah tangga di depan dan sebuah di belakang. Dengan adanya pengaruh luar, maka bentuk rumahpun sudah berubah. Kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan sekarang ini, banyak yang telah berubah. Namun budaya daerah yang masih mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menunjang pembangunan fisik material dan mental spiritual, masih tetap dipelihara dan dilestarikan.

Pada saat masyarakat mulai mengenal mengenal mata uang seperti real dan doit sebagai alat penukar bahan keperluan hidup, maka penduduk mulai menjual hasil pertanian tersebut seperti : sayur, buah-buahan dan lain-lain. Hasil pertanian tersebut diletakkan di depan rumah dekat jalan raya dan diatur setumpuk-setumpuk dengan harga satu doit per-tumpuk. Pemilik tidak perlu menjaga bahan dagangannya. Sore hari, pemilik akan mengambil uang harga jualannya. Bila habis terjual, maka di tempat penjualan itu terletak uang harag bahan yang dijual dalam keadaan utuh, tidak berkurang. Contoh seperti ini menunjukkan keluhuran budi pekerti setiap anggota masyarakat yang masih jujur, serta menyadari bahwa setiap perbuatan jahat itu tidak dikehendaki oleh Ompu Duata (Yang Maha Kuasa). Pada saat itu mereka belum mengenal dusta, tipu muslihat dan lain-lain sifat jahat yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Kerukunan hidup antar keluarga dan antar tetangga dimasa itu belum tercemar oleh pengaruh luar.
[sunting] Pemekaran Daerah

Karena wilayah Bolaang Mongondow memiliki luas 50,3% dari luas wilayah Sulawesi Utara sehingga Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow bersama tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama sepakat melakukan pemekaran wilayah dengan menujuk Drs Djainudin Damopolii sebagai ketua pemekaran.

Dengan dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat serta Pemkab Bolaang Mongondow panitia pemekaran berhasil meyakinkan pemerintah pusat dan DPR RI sehingga wilayah Bolaang Mongondow secara resmi mekar menjadi 5 dearah tingkat II yaitu :

* Kabupaten Bolaang Mongondow
* Kota Kotamobagu
* Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
* Kabupaten Bolaang Mongondow Timur
* Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mongondow"
Kategori: Suku bangsa di Sulawesi Utara


Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vergadering van de P.I.K.A.T. (Pertjintaan Iboe Kepada Anak Toeroen-toemoeroen) een vrouwen-vereniging uit Manado. Hier de afdeling Mongondow Bolaangmongondow Noord-Celebes TMnr 10000761.jpg

Sejarah Loloda’ Mokoagouw (Datu’ Binangkang) dan Abraham Sugeha (Datu’ Pinonigad) ; Dua pribadi dengan satu visi yang sama-sama anti penjajah


Sejarah Datu’ Binangkang

Punu’ Tadohe, putra Punu’ Mokodompit VI dari istrinya yang seorang wanita biasa bernama Gugundo mendapat sindiran-sindiran dari para Bogani bawahan Punu Mokodompit sehingga ibunya Gugundo dalam keadaan hamil hijrah ke Pulau Sangir Talaud.


Bayinya lahir ditangani Tabud. Bayinya diberi nama Tadohe dan kemudian mendapat pendidikan dan keahlian di sana di bawah asuhan ibundanya sampai dewasa, dengan izin ibu disertai putra punu mau menduduki jabatan ayahnya.


Dengan melalui banyak rintangan antara lain perahu layarnya yang karam di tengah lautan. Konon bantuan Tendeduata nenek asalnya, akhirnya ia terdampar di Desa Tonggid di pantai selatan-Timur dan melewati hutan belukar dengan dua orang pengawalnya yang akhirnya tiba di daerah kekuasaan ayahnya, Punu Mokodompit (± tahun 1555).


Waktu ayahnya meninggal tahun 1600, maka Tadohe satu-satunya yang berpendidikan. Ia dipilih oleh bogani-bogani (pimpinan) menjabat Punu ke VII. Adapun barang-barang peninggalan Tadohe antara lain yang disimpan di Lipulin Yoko (Museum Peninggalan Raja) tetapi terbakar waktu Permesta tanggal 20 Mei 1959.


Antara masa jabatan Punu Mokodompit sampai terangkatnya Punu Tadohe, ada seorang Bogani Wanita yang kuat dan terkenal kemampuannya ialah Inde’ Do’oe (inde = ibu) atau Ba’ai Do’oe (ba’ai = nenek) panggilan daerah Totabuan. Di Gorontalo dikenal Bua’ Do’oe, di Minahasa disebut nenek Do’oep.


Konon, Ba’ai Do’oe pewaris kekuasaan dari Damopolii ini (Rampolii = Minahasa) menguasai wilayah sampai bagian selatan Minahasa : sekitar Kotabunan, Ratahan, Pontak, Buyak sampai ke batas Danau Mo’o’at dengan tujuh anaknya berdiam di puncak gunung Dayou (Kec. Kotabunan).


Punu Tadohe merupakan anak angkat dari Ba’ai Do’oe ini. Punu Tadohe juga memiliki keturunan yang bernama Loloda’ Mokoagow yang diberi gelar Datu’ Binangkang. Loloda’ Mokoagow diganti jabatannya oleh anaknya Datu. C. Manoppo di bawah pengawalan 24 orang tentara Compagnie dan 7 orang penguasa Belanda dari Minahasa ke Kota Bolaang dan dilantik bersamaan penanda tanganan kontrak pertama dengan V.O.C 20 Mei 1695.


Kehadiran kekuasaan Datu’ C. Manoppo di bawah lindungan iringan bendera Compagnie Belanda ini yang mendapat tambahan nama Kristen Khatolik “Jacobus”, diterima oleh ayahandanya dengan cemas, marah dan angat berang karena “dikecewakan = binangkang” (kemudian digelari Raja Binangkang) sambil bersumpah : “karena Makaloensenge, puteranya dari Bua’ (bangsawan) tidak menggantikannya.” Loloda’ Mokoagow merupakan salah satu raja yang berjiwa anti kolonial.


Kehadiran Raja Loloda’ Mokoagow dengan panggilan Datu’ Binangkang yang sebelumnya telah memeluk agama Islam hasil didikan guru mengaji dan ilmu Al-Qur’an keluaran Batu Da’a Suwawa Gorontalo sekitar 1580 itu telah mengeluarkan ketetapan : “Agama raja, agama rakyat”, maksudnya adalah agama rakyat adalah agama yang dipeluk oleh Raja.


Dihadirkannya oleh VOC Manoppo pertama dengan baptisannya Jacobus sebelum dilantik sebagai Raja I beragama Khatolik, ternyata tidak dapat mempengaruhi rakyat lagi kecuali menimbulkan antipati terhadap Belanda yang membawanya secara PAKSA, akhirnya kepercayaan itu hanya di lingkungan istana. Bahwa lambatnya zendeling masuk ke wilayah kerajaan di Bolaang Mongondow bukanlah persoalan agama tapi yang tidak mau diterima oleh rakyat adalah orang-orang asing Belanda, Portugis, dan Inggris sebagai PENJAJAH.


Sejak itu, embrio tambah subur menuju kebangkitan Nasional dan bukan tidak setuju terhadap agama yang dianutnya. Hal termasuk unsure perbedaan anutan falsafah negara asalnya, dimana jiwa Indonesia sebagai Falsafah Negara kita telah tumbuh dan berakar dalam tingkah laku dan hati rakyat Indonesia sampai sekarang ini. Dengan taktik berkesan tidak baik d hati rakyat itu, dengan datangnya para ulama baik dari Gorontalo, Bugis Makassar dan dari Filipina Selatan sangat berkemang pesat, sehingga kehadiran Controleur bersama misi zending-nya di bawah pimpinan Ds. Dunnerbier tetap menghadapi banyak kesulitan.


Kini, makam Datu’ Binangkang masih dapat disaksikan di Rigi perbatasan antara Poyowa dan Matali. Letaknya sekitar 1 Km dari jalan di perbatasan Matali dan Motoboi Besar. Menuju ke tempat itu harus berjalan kaki. Makam yang panjangnya 7 meter itu tak terawat dan tak mendapat perhatian pemerintah daerah. Padahal sebagai asset budaya, makam tersebut harusnya dilestarikan dan dipugar sehingga dapat memperkaya pengetahuan generasi muda Totabuan terhadap leluhurnya. Di antara sekian bupati atau tokoh bolmong, menurut masyarakat setempat hanya bupati UN Mokoagow yang dulu pernah datang ke tempat itu.


Seorang penulis buletin sebuah yayasan pun bertutur : “ Sungguh tragis makam leluhur Bolmong ini seperti dilupakan. Datu Binangkang yang dulunya sempat ditipu (binangkangan) oleh anaknya sendiri demi jabatan seorang raja, kini tinggal makamnya juga seperti (binangkangan intau) tidak diperhatikan, dan kini bahkan namanya yang diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Kotamobagu konon/sudah akan diganti lagi. Datu Binangkang benar-benar Raja binangkangan sejak masih hidup, kuburan, hingga namanya ”.


Sejarah Datu’ Pinonigad

Nama Mongondow-nya adalah Abraham Sugeha (nama aslinya Andi Panungkelan). Beliau adalah seorang mubalig Islam berpendidikan dan berpengetahuan yang diperolehnya di daerah Bugis asal kelahiran ayahandanya Andi Lattae (Latahe) bangsawan Bugis Wajo.


Andi Lattae berlayar dalam misi dagangnya sehingga berlabuh di Bolaang, Ibu Kota Kerajaan Mongondow. Andi Lattae memiliki enam putera-puteri dan putera ketiganya bernama Andi Panungkelan. Meskipun bukan putra asli Totabuan, tetapi karena kepandaian dan keterampilan Andi Panungkelan maka ia dapat merebut hati rakyat dan terpilih menjadi Raja ke XXI dengan memakai nama Abraham Sugeha (1880-1893), dengan sebutan Datu’ Pinonigad (Tussen Koning). Beliau bersama rakyatnya sangat berang dan anti terhadap compagnie Belanda.


Sama seperti makam Datu’ Binangkang, makam Datu Pinonigad yang terletak di Gere Kelurahan Matali ini pun terkesan tidak terawat dengan baik. Kuburan Raja-raja Bolmong yang lain juga di tempat ini Raja HDC Manoppo dan keluarga, Abo’ Dangoe Manoppo, Raja Cornelis Manoppo, dan lain-lain tidak jelas karena nisannya rusak termakan waktu.